Love and Destiny
Aku menatap
kagum bangunan di sekelilingku. Tak salah jika bangunan ini dulu menjadi
benteng andalan Belanda untuk mengontrol kesultanan Yogyakarta. Benteng Vredeburg
memang bangunan gagah yang cocok dijadikan benteng
strategi, intimidasi, penyerangan dan blokade jika sewaktu – waktu
kesultanan Yogyakarta mulai menentang Belanda.
“Lu
ngapain sih, Ran? Sini dong, masih banyak yang harus kita foto.” Nana–sahabatku
melambaikan tangan ke arahku. Aku bergegas berlari menghampirinya. Hari
ini kami bertugas memotret benteng Vredeburg untuk artikel dalam majalah kampus
bulan ini.
Setelah
beberapa kali mengambil foto benteng, aku dan Nana memutuskan untuk berbagi
tugas. Aku bertugas untuk memotret bagian dalam benteng yang kini dijadikan
museum sementara dia akan memotret bagian luar benteng. Akupun berjalan masuk ke dalam benteng. Aku
berhenti sejenak di salah satu miniatur yang menggambarkan perjuangan penduduk
Indonesia dalam melawan penjajah. Sepertinya miniatur ini akan menjadi foto
yang menarik. Bergegas aku memasang kameraku dan bersiap – siap mengambil
gambar. Klik! Aku tersenyum puas dan memasukkan kamera ke dalam tasku.
***
Aku
mengernyitkan dahiku. Ini
dimana? Kenapa aku bukan di benteng Vredeburg? Aku menatap sekelilingku dengan
heran. Di luar terdengar suara yang sangat bising. Ada suara tembakan,
teriakan, dan tangisan. Seperti suara di medan perang yang sering aku dengar di
televisi. Tunggu sebentar!
Jangan – jangan... Aku
berlari tak tentu arah. Aku berhenti berlari ketika melihat seorang pria
berlari ke arahku.
“Ranty,
kamu tidak apa – apa, kan?” tanyanya. Dia memegang erat bahuku.
“Kamu
siapa? Aku dimana?” Aku bingung. Dari
mana dia tau namaku?
“Kamu
bicara apa, sih? Belanda sudah menyerang benteng ini. Kita harus pergi dari
sini!”
“Belanda?
Jangan bercanda! Ini tahun berapa?” Aku bergerak mundur menjauhi pria itu.
Untuk sesaat, aku berpikir dia orang gila. Pakaian dan potongan rambutnya saja
sudah kelewat lama. Ditambah dia berbicara tidak jelas.
“Ini
tahun 1948, tepatnya tanggal 19
Desember 1948. Belanda akan segera menduduki
benteng ini. Mereka sudah berhasil menguasai lapangan terbang Maguwo.”
Mulutku
ternganga. Ini mimpi, kan? Pelan – pelan aku mencubit lenganku.
Auww, sakit. Ini bukan mimpi. Aku kembali ke masa lalu. Masa lalu. 19 Desember
1948? Bukannya hari itu terjadi Agresi Militer
Belanda II dan Belanda berhasil
menduduki Yogyakarta?
“Ayo, kita harus
segera pergi dari sini.” Pria itu menarik tanganku dan berlari ke luar benteng.
Kali ini aku tidak bereaksi apapun. Aku sudah cukup panik menghadapi kenyataan
kalau aku berada di masa lalu.
“Kamu belum
menjawab pertanyaanku. Kamu siapa?” Aku kembali menanyakan hal yang sama
padanya. Dia berhenti berlari dan menggenggam erat tanganku. “Aku Samudra, tunangan. Kamu kenapa? Kamu tidak apa – apa, kan? Kenapa kamu mendadak
bertingkah seperti ini?”
Tiba – tiba saja
terdengar suara tembakan tepat di belakang kami. Tentara Belanda datang! Aku
menjerit ketakutan. Kami kembali berlari menjauhi benteng Vredeburg. Brukk!
Mendadak pria itu jatuh tersungkur. Aku kembali menjerit. Aku berlari
mendekatinya. Ya Tuhan! Punggungnya berdarah. Aku menggoyang – goyang pelan
tubuhnya.
“Kamu tidak apa –
apa, kan?” Aku mulai terisak. Bulir – bulir air mata mulai menetes satu per
satu membasahi pipiku. Aku jongkok dan menarik tangannya mencoba untuk
memapahnya. Tapi usahaku sepertinya sia – sia. Jangankan memapahnya,
membangunkannya saja aku tidak mampu.
“Ranty,
dengarkan aku. Kamu harus segera pergi dari sini dengan atau tanpa aku!” Pria
itu kembali menggenggam erat tanganku. “Berjanjilah kepadaku kamu tidak akan
melupakanku–bahkan di masa yang akan datang kamu akan terus bersamaku.” ujarnya
lirih.
Aku
menganggukkan kepalaku berulang - ulang. Entah kenapa, aku merasa simpati kepadanya. Tiba – tiba saja aku tidak bisa melihat dengan jelas.
Aku merasa punggungku basah. Aku meraba – raba punggungku. Darah. Aku
mengalihkan pandanganku kepada pria itu. Dia sudah memejamkan matanya. Dia
sudah mati. Aku merasa mataku terasa sangat berat dan badanku sangat lemas.
Brukk! Aku ambruk tepat di samping pria itu. Aku memandang ke atas. Samar –
samar aku melihat pesawat Belanda terlihat lalu lalang melintas di antara
benteng Vredeburg. Pelan – pelan aku menutup mataku.
***
“Hey, kamu gak apa – apa, kan?” Aku merasa ada yang mengguncang – guncang badanku. Pelan
– pelan aku membuka mataku.
“Aku
kenapa? Ini dimana?” Aku menatapnya penuh kebingungan.
“Kamu
ada di museum benteng Vredeburg. Kamu tadi pingsan. Untung aja aku tahu, hari ini
kebetulan museum ini lagi sepi pengunjung”
“Thanks
ya.” Aku menatapnya dan tersenyum. “Oh iya, kamu siapa? Aku Ranty.” Aku berdiri
dan mengulurkan tanganku. Tunggu sebentar! Kenapa sepertinya aku mengenal dia?
“Aku Samudra. Mau aku temenin keliling museum ini? Aku hapal seluk beluk museum
ini.”
Mataku terbelalak.
Sesaat aku tidak dapat berpikir apapun. Ini
bukan mimpi, kan? Aku
mencubit lenganku. Sakit. Ini bukan mimpi. Aku tersenyum. “Boleh. Kita
mulai dari mana?”
“Apa
kita pernah ketemu?” Dia mengerutkan dahinya.
“Mungkin,
mungkin di masa lalu kita pernah ketemu.” jawabku, tersenyum. Kali ini kedua mata kami
saling bertemu.
FIN
untung pingsannya di benteng vredeburg mbak enggak pas di perempatan kantor pos nya :D
ReplyDeletekereeen, sejarahnya detail bangeeet (з´⌣.`ε)
ReplyDelete@anotherorion:
ReplyDeletehahaha...
kalo pingsannya di perempatan kantor pos ntar gak jadi cerpen romantis malah jadi cerpen tragedi dong (ketabrak ._.) ;D
@suci nabbila:
ReplyDeletemakasih^^
kebetulan pernah baca sejarah berdirinya benteng vredeburg ampe jadi museum :)