Monday 27 August 2012

Back To The Past : Love and Destiny

Love and Destiny


Aku menatap  kagum bangunan di sekelilingku. Tak salah jika bangunan ini dulu menjadi benteng andalan Belanda untuk mengontrol kesultanan Yogyakarta. Benteng Vredeburg memang bangunan gagah yang cocok dijadikan benteng strategi, intimidasi, penyerangan dan blokade jika sewaktu – waktu kesultanan Yogyakarta mulai menentang Belanda.

“Lu ngapain sih, Ran? Sini dong, masih banyak yang harus kita foto.” Nana–sahabatku melambaikan tangan ke arahku. Aku bergegas berlari menghampirinya. Hari ini kami bertugas memotret benteng Vredeburg untuk artikel dalam majalah kampus bulan ini.

Setelah beberapa kali mengambil foto benteng, aku dan Nana memutuskan untuk berbagi tugas. Aku bertugas untuk memotret bagian dalam benteng yang kini dijadikan museum sementara dia akan memotret bagian luar benteng.  Akupun berjalan masuk ke dalam benteng. Aku berhenti sejenak di salah satu miniatur yang menggambarkan perjuangan penduduk Indonesia dalam melawan penjajah. Sepertinya miniatur ini akan menjadi foto yang menarik. Bergegas aku memasang kameraku dan bersiap – siap mengambil gambar. Klik! Aku tersenyum puas dan memasukkan kamera ke dalam tasku.
***
Aku mengernyitkan dahiku. Ini dimana? Kenapa aku bukan di benteng Vredeburg? Aku menatap sekelilingku dengan heran. Di luar terdengar suara yang sangat bising. Ada suara tembakan, teriakan, dan tangisan. Seperti suara di medan perang yang sering aku dengar di televisi. Tunggu sebentar! Jangan – jangan... Aku berlari tak tentu arah. Aku berhenti berlari ketika melihat seorang pria berlari ke arahku.

“Ranty, kamu tidak apa – apa, kan?” tanyanya. Dia memegang erat bahuku.

“Kamu siapa? Aku dimana?” Aku bingung. Dari mana dia tau namaku?

“Kamu bicara apa, sih? Belanda sudah menyerang benteng ini. Kita harus pergi dari sini!”

“Belanda? Jangan bercanda! Ini tahun berapa?” Aku bergerak mundur menjauhi pria itu. Untuk sesaat, aku berpikir dia orang gila. Pakaian dan potongan rambutnya saja sudah kelewat lama. Ditambah dia berbicara tidak jelas.

“Ini tahun 1948, tepatnya tanggal 19 Desember 1948. Belanda akan segera menduduki benteng ini. Mereka sudah berhasil menguasai lapangan terbang Maguwo.”

Mulutku ternganga. Ini mimpi, kan? Pelan – pelan aku mencubit lenganku. Auww, sakit. Ini bukan mimpi. Aku kembali ke masa lalu. Masa lalu. 19 Desember 1948? Bukannya hari itu terjadi Agresi Militer Belanda II dan Belanda berhasil menduduki Yogyakarta?

“Ayo, kita harus segera pergi dari sini.” Pria itu menarik tanganku dan berlari ke luar benteng. Kali ini aku tidak bereaksi apapun. Aku sudah cukup panik menghadapi kenyataan kalau aku berada di masa lalu.

“Kamu belum menjawab pertanyaanku. Kamu siapa?” Aku kembali menanyakan hal yang sama padanya. Dia berhenti berlari dan menggenggam erat tanganku. “Aku Samudra, tunangan. Kamu kenapa? Kamu tidak apa – apa, kan? Kenapa kamu mendadak bertingkah seperti ini?”

Tiba – tiba saja terdengar suara tembakan tepat di belakang kami. Tentara Belanda datang! Aku menjerit ketakutan. Kami kembali berlari menjauhi benteng Vredeburg. Brukk! Mendadak pria itu jatuh tersungkur. Aku kembali menjerit. Aku berlari mendekatinya. Ya Tuhan! Punggungnya berdarah. Aku menggoyang – goyang pelan tubuhnya.

“Kamu tidak apa – apa, kan?” Aku mulai terisak. Bulir – bulir air mata mulai menetes satu per satu membasahi pipiku. Aku jongkok dan menarik tangannya mencoba untuk memapahnya. Tapi usahaku sepertinya sia – sia. Jangankan memapahnya, membangunkannya saja aku tidak mampu.

“Ranty, dengarkan aku. Kamu harus segera pergi dari sini dengan atau tanpa aku!” Pria itu kembali menggenggam erat tanganku. “Berjanjilah kepadaku kamu tidak akan melupakanku–bahkan di masa yang akan datang kamu akan terus bersamaku.” ujarnya lirih.

Aku menganggukkan kepalaku berulang - ulang. Entah kenapa, aku merasa simpati kepadanya. Tiba – tiba saja aku tidak bisa melihat dengan jelas. Aku merasa punggungku basah. Aku meraba – raba punggungku. Darah. Aku mengalihkan pandanganku kepada pria itu. Dia sudah memejamkan matanya. Dia sudah mati. Aku merasa mataku terasa sangat berat dan badanku sangat lemas. Brukk! Aku ambruk tepat di samping pria itu. Aku memandang ke atas. Samar – samar aku melihat pesawat Belanda terlihat lalu lalang melintas di antara benteng Vredeburg. Pelan – pelan aku menutup mataku.
***
“Hey, kamu gak apa – apa, kan?” Aku merasa ada yang mengguncang – guncang badanku. Pelan – pelan aku membuka mataku.

“Aku kenapa? Ini dimana?” Aku menatapnya penuh kebingungan.

“Kamu ada di museum benteng Vredeburg. Kamu tadi pingsan. Untung aja aku tahu, hari ini kebetulan museum ini lagi sepi pengunjung”

“Thanks ya.” Aku menatapnya dan tersenyum. “Oh iya, kamu siapa? Aku Ranty.” Aku berdiri dan mengulurkan tanganku. Tunggu sebentar! Kenapa sepertinya aku mengenal dia?

“Aku Samudra. Mau aku temenin keliling museum ini? Aku hapal seluk beluk museum ini.”

Mataku terbelalak. Sesaat aku tidak dapat berpikir apapun. Ini bukan mimpi, kan? Aku mencubit lenganku. Sakit. Ini bukan mimpi. Aku tersenyum. “Boleh. Kita mulai dari mana?”

“Apa kita pernah ketemu?” Dia mengerutkan dahinya.

“Mungkin, mungkin di masa lalu kita pernah ketemu.” jawabku, tersenyum. Kali ini kedua mata kami saling bertemu.
FIN

4 comments:

  1. untung pingsannya di benteng vredeburg mbak enggak pas di perempatan kantor pos nya :D

    ReplyDelete
  2. kereeen, sejarahnya detail bangeeet (з´⌣.`ε)

    ReplyDelete
  3. @anotherorion:
    hahaha...
    kalo pingsannya di perempatan kantor pos ntar gak jadi cerpen romantis malah jadi cerpen tragedi dong (ketabrak ._.) ;D

    ReplyDelete
  4. @suci nabbila:
    makasih^^
    kebetulan pernah baca sejarah berdirinya benteng vredeburg ampe jadi museum :)

    ReplyDelete